Bekas luka pandemi yang tidak terlihat di AS
Amerika masih menghadapi dampak pandemi ini. Kesepian, kegelisahan dan beban new normal
Pandemi COVID-19 telah meninggalkan dampak yang tak terhapuskan tidak hanya pada kesehatan fisik kita, namun juga pada jiwa kita. Pembatasan, isolasi, dan ketidakpastian telah memicu berbagai reaksi emosional, mulai dari ketakutan hingga kecemasan, dari kesepian hingga depresi. Sejumlah penelitian ilmiah telah mendokumentasikan peningkatan signifikan gangguan mental setelah pandemi ini, dan menyoroti dampak mendalam dan jangka panjang dari pengalaman kolektif ini.
Antara rasa terisolasi dan ketakutan akan koneksi baru
Salah satu dampak paling parah dari pandemi ini adalah perasaan kesepian. Isolasi fisik yang diakibatkan oleh lockdown telah membuat orang kehilangan interaksi sosial sehari-hari yang penting bagi kesejahteraan psikologis. Ahli geografi kesehatan Jessica Finlay mengamati berapa banyak orang yang mengalami semacam “atrofi otot sosial”, yaitu kehilangan kemampuan untuk membentuk hubungan baru dan biasa-biasa saja. Kurangnya koneksi berdampak besar pada kualitas hidup, meningkatkan risiko depresi dan kecemasan.
Hilangnya kontak: konsekuensi dari isolasi
Hilangnya apa yang disebut “ikatan lemah”, atau interaksi informal dengan orang asing atau kenalan, mempunyai dampak sosial yang signifikan. Faktanya, ikatan ini memainkan peran penting dalam menciptakan rasa kebersamaan dan rasa memiliki. Pandemi ini telah mengikis tatanan sosial, mendorong isolasi dan individualisme. Selain itu, polarisasi politik dan perpecahan sosial yang diperburuk oleh pandemi ini semakin mempersulit pemulihan hubungan-hubungan tersebut.
Sisi gelap dari kerja cerdas
Peralihan ke pekerjaan jarak jauh, yang dipercepat oleh pandemi, semakin mengubah pola interaksi sosial kita. Meskipun bekerja dari rumah menawarkan banyak keuntungan dalam hal fleksibilitas, hal ini juga dapat menimbulkan rasa terisolasi dan terputusnya hubungan dengan rekan kerja. Studi yang dilakukan oleh Nick Bloom, seorang ekonom di Stanford University, dan Jim Harter, chief science officer untuk tempat kerja di perusahaan konsultan manajemen Gallup, menyoroti bagaimana kurangnya interaksi tatap muka dapat berdampak negatif terhadap motivasi, kreativitas, dan kesejahteraan psikologis pekerja. -makhluk.
Beban masa lalu
Sulitnya “mengatasi” pandemi ini merupakan pengalaman yang lumrah. Banyak orang masih merasa kewalahan dengan kejadian beberapa tahun terakhir dan berjuang untuk mendapatkan kembali kendali kehidupan mereka. Kekhawatiran yang terus berlanjut mengenai penularan, varian baru, dan ketidakpastian mengenai masa depan memicu rasa genting dan ketidakstabilan. Selain itu, tekanan sosial untuk “kembali normal” dapat menjadi sumber stres dan kecemasan bagi mereka yang belum merasa siap.
Penyembuhan bersama
Menurut para psikolog, mengatasi dampak pandemi yang tidak terlihat memerlukan pendekatan multidimensi. Mempromosikan kesejahteraan psikologis, berinvestasi kesehatan mental, dan menciptakan ruang komunitas merupakan elemen kunci dalam mendorong pemulihan. Selain itu, penting untuk mengenali validitas pengalaman individu dan membiarkan setiap orang memproses kesedihan dan ketakutannya. Membangun masa depan yang lebih berketahanan dicapai dengan membina hubungan, meningkatkan empati, dan menghargai hubungan antarmanusia.